Arsip | Juni, 2010

Big Debate, Sebuah Perdebatan Bersejarah Antara Ahlus Sunnah Dengan Mu’tazilah

30 Jun


Walaupun ana yakin bahwa sebagian ikhwah telah mengetahui hal ini tapi tak apalah kali aja ada yang belum tahu. Silakan disimak…

Thahir ibn Khalaf berkata tentang fitnah “Khalqul Quran” di masa Imam Ahmad bin Hanbal: Aku mendengar Muhammad bin Al-Watsiq berkata:

“Dulu jika bapakku [Khalifah Al-Watsiq Harun bin Muhammad bin Mu’tashim billah bin Harun Ar-Rasyid naik tahta pada tahun 227 H] hendak membunuh seseorang, kami dihadirkan di majelis tersebut. Kemudian dihadirkanlah seorang Syaikh dalam keadaan terikat yang berlumuran darah karena siksaan. kemudian berkatalah bapakku [Sang Khalifah]: “Izinkanlah Abi ‘Abdillah dan sahabat-sahabatnya masuk [maksudnya adalah Ahmad bin Abi Du-ad hakim agung yang menjadi pelopor gembong mu’tazilah dan pelopor fitnah Khalqul Qur’an]”

Muhammad bin Al-Watsiq berkata:”Kemudian didatangkanlah seorang syaikh.”Syaikh tersebut berkata: “Assalaamu’alaikum [semoga keselamatan untukmu] wahai Amirul Mu’minin.” Sang Khalifah membalas: “Mudah-mudahan Allah tidak menyelamatkanmu.” Syaikh berkata: ”Sungguh jelek guru yang mendidikmu, wahai Amirul Mu’minin. Allah telah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا.

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. [An-Nisa: 86]. Demi Allah anda tidak membalas penghormatan saya dengan yang serupa dan tidak pula dengan yang lebih baik”.

Berkatalah Ibnu Abi Du-ad [guru Khalifah]: “Wahai Amirul Mu-minin, laki-laki ini ahli kalam [debat, bicara].”

Khalifah menjawab: “Berbicaralah dengannnya.”

Maka Berbicaralah Ibnu Abi Du-ad: “Wahai Syaikh apa yang kamu katakan tentang Al-Quran?”

Syaikh menjawab: “Engkau belum berbuat adil kepadaku dan aku memiliki hak untuk bertanya”.

Ibnu Abi Du-ad berkata: “Bertanyalah”

Syaikh berkata kepadanya: “Apa yang kamu ucapkan tentang Al-Quran?”

Dia menjawab: “Makhluk”

Syaikh bertanya lagi: “Ini sesuatu yang telah diketahui oleh Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ataukah sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka?”

Dia menjawab: “Ini adalah sesuatu yang tidak mereka ketahui”

Syaikh menimpali: “Subhanallah! Sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi, Abu Bakar, Umar , Utsman dan Ali sementara kamu mengetahuinya?!”

Muhammad Al-Watsiq [anak Khalifah] berkata: “Maka Ibnu Abi Du-ad pun merasa malu”.

Syaikh berkata lagi: “Apa yang kamu ucapkan tentang Al-Quran?”

Ibnu Abi Du-ad menjawab: “Makhluk”

Syaikh bertanya lagi: ”Ini sesuatu yang telah diketahui Nabi, Abu Bakar, Utsman dan Ali ataukah mereka tidak ketahui?”

Dia menjawab: “Mereka mengetahuinya”

Syaikh bertanya lagi: “Apakah cukup bagi mereka untuk tidak membicarakannya dan tidak mengajak manusia kepadanya ataukah tidak cukup?”

Ibnu Abi Du-ad menjawab: “Justru cukup bagi mereka”

Maka syaikh menjawab: “Apakah tidak cukup bagimu apa yang telah cukup bagi Rasulullah dan para sahabatnya?”

Maka terbungkamlah Ibnu Abi Du-ad

Khalifah Al-Watsiq yang hadir pada saat itu berkomentar: “Semoga Allah tidak mencukup orang yang [merasa] tidak cukup dengan apa yang telah mencukup bagi mereka [Rasulullah dan para khalifahnya]!”

Muhammad bin Al-Watsiq berkata: “Maka bedirilah bapakku kemudian memasuki ruang prbadi lalu berbaring telentang dan meletakkkan kakinya diatas kaki yang lain seraya berkata dan menenung: “Ini sesuatu yang tidak diketahui Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sementara engkau mengetahuinya? Subhanallah! sesuatu yang diketahui Nabi , Abu Bakar, Umar , Utsman dan Ali lalu mereka tidak menda’wahkannya kepada manusia?! “Apakah tidak cukup bagimu apa yang telah cukup bagi mereka?!”

Kemudian dia [Sang Khalifah] memanggil seorang pelayan dan memerintahkan untuk melepaskan syaikh tersebut, memberinya Empat Ratus Dinar dan mengizinkannya pulang maka jatuhlah martabat Ibnu Abi Du-ad di mata Khalifah. Maka Khalifah tidak pernah lagi menguji manusia setelah itu. Muhammad Al-Muhtadi Billah putra Khalifah Al-Watsiq juga bertaubat karenanya, dia mengatakan: “Saya telah taubat dari ucapan bid’ah itu dan saya kira bapak saya Al-Watsiq juga taubat darinya sejak saat itu.”

Nah, siapakah syaikh Ahlus Sunnah yang diberi taufik oleh Allah untuk membongkar kesesatan berpikir kaum rasionalis Mu’tazilah Jahmiyah tersebut? Beliau adalah Abu Abdurahman Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Adzrumiy, murid Imam Waqi’, Sufyan bin Uyainah dan Ibnu Mahdi, guru dari Imam Abu Daud dan Nasa-i. Kisah ini sangat masyhur diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadiy dalam Tarikh Baghdad, Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad, Adz-Dzahabiy dalam Siyar A’lam An-Nubala, Al-Ajuri dalam Asy-Syari’ah, Ibnu Katsir dalam Bidayah wa Nihayah dan Asy-Syathibiy dalam Al-I’tisham.

——————————————————————————————————————————–

Selesai Disalin di Kabupaten yang dingin, Temanggung Jawa Tengah pada waktu menjelang Ashar dari Majalah Qiblati Volume 2/ No.1 Hal 16-18 dengan sedikit perubahan.

——————————————————————————————————————————–

Terakhir, ini adalah komentar dari ana. Ikhwah sekalian kalau kita perhatikan, ada yang menarik dari percakapan diatas:

1. Sikap syaikh Ahlus Sunnah Abu Abdurahman diatas yang menyapa Sang Khalifah dengan Salam “Assalamu’alaykum wahai Amirul Mu’minin”. Dari perkataan ini jelas bahwa syaikh tidak teburu-buru dalam memvonis kafir suatu individu yang terjatuh pada bid’ah i’tiqadiyah yang bersifat mukaffarah sekalipun, sebab dikepalanya masih ada syubuhat. Dari mana kita bisa tahu bahwa syaikh Ahlus Sunnah tersebut masih menganggap Khalifah sebagai orang beriman dan tidak kafir? tentu dari ucapan salam yang syaikh berikan dimana ucapan salam ini tidaklah diucapkan kecuali kepada orang islam juga ada sebutan tegas “Wahai Amirul Mu’minin [pemimpin orang-orang beriman].

2. Syaikh tersebut berargumentasi dengan salah satu kaidah besar dalam manhaj salaf yakni ketika syaikh tersebut berkata: “Ini sesuatu yang telah diketahui oleh Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali ataukah sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka?”. Disini syaikh menjadikan pemahaman para Khulafaur Rasyidin sebagai timbangan.

3. Dialog ini menunjukan pada kita betapa liciknya Ahli Bid’ah itu sebab yang mereka lakukan adalah “yakin dulu baru cari dalil” alias segala dalil diupayakan agar mendukung keyakinan bid’ahnya tersebut. Lihatlah bagaimana sikap plin-plan [:Maho] dari Ahli Bid’ah diatas yakni Ibnu Abi Du-ad yang pada awalnya ketika ditanya “Apakah Nabi dan Khulafaur Rasyidin mengetahuinya?” maka awalnya dia jawab tidak tahu tapi setelah dia terdesak maka dengan pertanyaan yang sama dia ditanya tapi menghasilkan jawaban yang berbeda. Sungguh T-E-R-L-A-L-U. Kenapa dia melakukan ini? atau kok bisa-bisanya melakukan hal memalukan seperti ini? sebab perilaku ini berakar dari kaedah kebanggan mereka secara lisaanul haal yakni “yakin dulu baru cari dalil”.

Wallahua’lam. Semoga apa yang ana salin ini bermanfaat bagi ana dan ikhwah sekalian. Ana mohon maaf jika ada kesalahan. CMIIW!